Proses belajar dengan rumus S-R bisa berjalan dengan syarat adanya unsur-unsur seperti dorongan (drive), rangsangan (stimulus), respon (response), dan penguatan (reinforcement). Pertama, dorongan adalah suatu keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi suatu kebutuhan yang sedang dirasakannya. Seorang anak merasakan adanya kebutuhan akan bahan bacaan ringan untuk mengisi waktu senggangnya, maka ia terdorong untuk memenuhi kebutuhan itu, misalnya dengan mencarinya di perpustakaan terdekat. Unsur dorongan ini ada pada setiap orang meskipun tingkatannya tidak sama: ada yang kuat, ada pula yang lemah . Kedua, adanya rangsangan (stimulus). Kalau dorongan datangnya dari dalam, maka rangsangan datang dari luar. Bau masakan yang lezat bisa merangsang timbulnya selera makan yang tinggi, bahkan yang tadinya tidak terlalu lapar pun bisa menjadi lapar dan ingin segera mencicipinya. Wanita cantik dengan pakaian yang ketat juga bisa merangsang gairah seksual setiap lelaki dewasa (yang normal) . Oleh karena itu, dalam islam wanita tidak diperbolehkan berpakaian yang merangsang, dan bahkan harus menutup seluruh auratnya (Qur’an:24:31). Hal ini untuk menjaga “keamanan”, menjaga nafsu yang sering tidak terkendali sebagaimana sering kita dengar adanya tindakan perkosaan brutal yang tidak berprikemanusiaan.
Dalam sistem intruksional, rangsangan ini bisa terjadi (bahkan bisa diupayakan) pada pihak sasaran untuk bereaksi sesuai dengan keinginan komunikator, guru maupun instruktur. Dalam suatu kuliah siang hari, pada saat para mahasiswa banyak yang mengantuk dan kurang bergairah, sang dosen bisa merangsangnya dengan berbagai cara, dan yang sering dilakukan adalah antara lain dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang selektif dan menarik, bercerita ringan atau humor.
Dari adanya rangsangan tersebut kemudian timbul reaksi, dan memang orang bisa timbul reaksinya atas suatu rangsangan. Bentuk reaksi berbeda-beda tergantung pada situasi, kondisi dan bahkan bentuk rangsangan tadi. Reaksi-reaksi yang terjadi pada seseorang akibat adanya rangsangan dari lingkungan sekitarnya inilah yang disebut dengan respon dalam teori belajar. Maka unsur yang Ketiga, adalah masalah respon. Respon ini bisa dilihat atau diamati dari luar. Respon ini ada yang positif dan ada pula yang negatif. Respon positif terjadi sebagai akibat “ketepatan” seseorang melakukan respon (mereaksi) terhadap stimulus yang ada, dan tentunya yang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan respon negatif adalah apabila seseorang bereaksi justru sebaliknya dari yang diharapkan oleh pemberi rangsangan. Kempat, adalah masalah penguatan (reinforcement). Unsur ini datangnya dari pihak luar kepada seseorang yang sedang melakukan respon. Apabila respon telah benar, maka perlu diberi penguatan agar orang tersebut merasa adanya kebutuhan untuk melakukan respons seperti tadi lagi. Seorang anak kecil yang sedang mencoret-coret buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba dibentak dengan kasar, bisa terkejut bahkan bisa menderita guncangan sehingga ia tidak akan mencoret-coret buku lagi. Bahkan kemungkinan yang paling jelek di kemudian hari barangkali ia akan benci terhadap setiap yang namanya tulis menulis. Hal ini adalah bentuk penguatan yang salah. Barangkali akan lebih baik apabila cara melarangnya dengan kata-kata yang tidak membentak. Dengan demikian si anak akan merasa dilarang menulis, dan itu namanya anak diberi penguatan positif sehingga ia merasa perlu untuk melakukan coretan seperti tadi, tapi di tempat lain. Setiap kali seorang siswa mendapat nilai A pada mata pelajaran matematika, ia mendapat pujian dari guru; maka selanjutnya ia akan berusaha mempertahankan prestasinya itu. Dengan kata lain, ia melaksanakan semuanya itu karena dipuji (diberi penguatan) oleh guru.
Proses belajar akan terjadi secara terus menerus apabila stimulus dan respon ini berjalan dengan lancar. Ia berproses secara rutin dan tampak seperti otomatis tanpa membicarakan hal-hal yang terjadi selama berlangsungnya proses tadi. Namun dalam hal ini tidak dibicarakan bahwa yang namanya belajar banyak melibatkan unsur pikiran, ingatan, kemauan, motivasi, dan lain-lain.
Aplikasi/penerapan klasikal kondisioning di kelas adalah dengan cara:
• Menjadikan lingkungan belajar yang nyamn&hangat, sehingga kelas menjadd satu ksatuan (saling berhubungan) dengan emosi positf (adanya hubungan persahabatan/kekerabatan)
• Pada awal masuk kelas, guru tersnyum dan sebagai pembukaan bertanya kepada siswa tetang kabar keluarga, hewan peliharaan/hal pribadi dalam hidup mereka.
• Guru berusaha agar siswa merespek satu sama lain pada prioritas tinggi di kelas, misalnya, pada diskusi kelas guru merangsang siswa untuk berpendapat
• Pada sesi tanya jawab, guru berusaha membuat siswa berada dalam situasi yang nyaman dengan memberikan hasil (positf outcome – masukn positif). Misalnya, jika siswa diam/tidak aktif, maka guru bisa memulai dengan pertanyaan ”apa pendapatmu tentang masalah ini”, atau bagaimana kamu membandingkan dua contoh ini”. Dengan kata lain, guru memberi pertanyaan yang dapat memancing siswa untuk berpendapat. Namun jika dengan cara inipun siswa tidak sanggup/ segan untuk merespon, maka tugas guru untuk membimbing/ memacu sampai siswa memberi jawaban yang dapat diterima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar